Posts

Nasionalisme Banal dan Mengapa Kita Upacara?

Image
Semasa SD dulu, selain pelajaran olah raga dan latihan baris-berbaris, hal yang saya tidak sukai adalah upacara bendera sebab saya harus berdiri di bawah matahari yang terik dan berada di barisan terdepan karena tubuh saya yang pendek. Jika lupa membawa topi tentu saya akan berdiri di tempat yang berbeda, tempat yang tepat menghadap matahari. Walaupun Vitamin D dari sinar matahari pagi sangat bagus untuk tulang dan imun, tidak jarang saya melihat beberapa teman mendadak pingsan saat upacara karena kelelahan atau belum sarapan. Dan mengapa kami (siswa) harus dijemur dan guru berada di tempat yang teduh? It’s not fair! Semasa SMP and SMA, upacara hanya dilakukan 1-2 kali sebulan karena sekolah tempat saya belajar sangat fokus ke masalah akademik. Hal ini mulai membuat saya menyukai hari Senin. Saya bisa menyimpan tenaga, bangun tidak terlalu pagi dan lebih segar saat menhadapi pelajaran. Di bangku kuliah upacara dihapus, mungkin karena semakin dewasa kita merasa kalut, takut, dan atau

Presentasi Diri Perempuan dalam Kumpulan Puisi Ibuku Mengajari Bagaimana Mengisi Peluru

Image
Untuk menyebut sebuah puisi sebagai puisi yang baik butuh indikator dan evaluasi yang mendalam, pun penyair masih berjuang menemukan alasan-alasan yang pantas, mengingat seni adalah hal yang omnijektif di mana objektivitas dan subjektivitas perlu ditimbang dengan adil. Untuk menemukan apa yang dicari dalam sebuah puisi, rasa dan metafora sering kali menjadi dua hal yang cukup membantu untuk mendefinisikannya. Kata seorang penyair yang selalu ingin dilupakan namanya, “puisi yang baik adalah puisi yang secara akurat mencatat rasa.” Persis seperti puisi-puisi dalam buku Ibuku Mengajari Bagaimana Mengisi Peluru yang ditulis oleh Julia Arungan. Puisi-puisi dalam buku ini adalah gema, mimpi, perjuangan, pertanyaan-pertanyaan tentang keadilan, ibu, perempuan, istri, single parent , dalam kualitas rima yang dibangun secara alami, tidak terpaku pada teknik-teknik penulisan sehingga navigasi pembaca dalam mengikuti arah ritme, rima, dan ketukan membuatnya lebih mudah untuk merasakan puisi-pui

Referensi Kematian: Etika Bunuh Diri, Pemakaman dan Eulogi

Image
Kamu ingin mati pada usia berapa? Dengan cara apa? Kamu ingin mati di mana? Setelah mati kamu ingin dimakamkan seperti apa? Kamu ingin dimakamkan di mana? di samping siapa? Siapa yang akan membacakan eulogi dan memimpin doa? Seperti apa eulogi yang kamu inginkan? Apakah kamu sudah mulai menabung untuk membeli sebidang tanah kuburan dan biaya upacara (pesta) kematian? Aku tahu kamu tidak ingin merepotkan siapa-siapa. Pernahkah kamu berdoa kepada Tuhan agar kematian datang terlambat atau datang tiba-tiba tanpa ada pertanda sakit, misalnya saat kamu di meja belajar setelah menulis puisi-puisi itu? Atau mungkin tepat setelah menunaikan sholat subuh? Seperti apa kematian impianmu? Apakah kamu pernah menanyakan pertanyaan-pertanyaan ini kepada dirimu sendiri? Maaf kalau pertanyaan-pertanyaan ini membuat kepalamu berat . Saya rasa kita (manusia) tidak pernah terlalu muda atau tua untuk bicara soal kematian. Sebab seperti kata Murakami, mati bukan lawan dari kata hidup, mati adalah bagian da

XOXO: Semiotika X (Cium) dan O (Peluk)

Image
  Saya menerima surat cinta pertama kali saat saya duduk di kelas 6 SD. Sayang sekali pada masa-masa sekolah bahkan sampai kuliah saya menganggap romance itu kurang penting. Ada hal yang lebih besar dari pada cinta, misalnya seperti masalah rumah-rumah yang dirobohkan, atap-atap yang bocor, anak-anak yang diaborsi, atau hutan-hutan yang diperkosa. Hal itu penting apabila dijadikan bahan puisi dan prosa oleh para pujangga. Tapi kadang saya merasa cinta terdistorsi karena mereka terlalu sering membicarakannya dalam sastra. Terlepas dari surat cinta dan sejarah ketidakmampuan saya untuk menghormati cinta, sampai sekarang masih ada teman-teman dan institusi yang mengirimi saya surat, kartu pos, kartu-kartu kecil berisi ucapan selamat dan surat-surat elektronik panjang yang sering kali ditutup dengan “XOXO” baik dalam surat berbahasa Indonesia maupun dalam Bahasa Inggris. Pertama kali membaca ungkapan ini, saya tidak tahu persis artinya apa. Saya mengasosiasikannya dengan kata “sayang

AAS: Critical Review Writing Exercise

Image
Critical review on a journal article entitled Indonesian Food Culture mapping: a starter contribution to promote Indonesian Culinary Tourism . This journal is written by Sherli Wijaya , Ph.D, an Assistant Professor, FBE, Petra Christian University Surabaya.  Reviewed by Ziadah Ziad for the EAP Refreshment Class.  People often take food for granted or solely to fulfill their biological needs to nourish their body. In fact, however food is a product of a culture which can be tasted, smelled and enjoyed. Rich and complex history are hidden in the food served daily and occasionally. Acculturation, nature, and technological leaps have shaped the typical food that people eat, how the food is served and how it is eaten. In Indonesia, the combination of geographical features and cultural diversities create various types of food spreading across the archipelago and has produced unique fusion. Indonesian culinary is a picture of the diversity of tropical flora and fauna, of food processing a

Mengetik Mimpi dengan ASUS

Image
Salah satu hal yang paling sangat saya sukuri adalah lahir dan dibesarkan pada peradaban di mana saya punya kebebasan yang luas untuk menulis dan membaca. Kertas, buku dan pena bisa saya dapatkan dengan mudah. Akses ke perpustakaan sangat   lancar, akses ke perpustakaan digital atau mengakses berbagai informasi dari media masa cukup saya klik dengan jari. Ini adalah sebuah kemewahan yang utuh, jadi tidak ada alasan bagi saya untuk tidak membaca dan menulis. Apalagi cita-cita terbesar saya adalah menjadi seorang penulis yang baik dan bisa hidup dari puisi, buku atau dari kata-kata yang saya hasilkan. Karir menulis memang sangat menantang, tidak mudah untuk menembus penerbit-penerbit ternama. Kesusahan ini membuat penolakan demi penolakan jadi hal biasa. Saya tidak bisa dan tidak akan berhenti menulis begitu saja karena alasan apapun. Apalagi menggunakan alasan materi sebagai alibi, sangat tidak terhormat. Seperti kata seorang guru dalam film The Wild Pear tree , “Seorang penulis yang

Hakikat Pendidikan dalam Allegory of the Cave Karya Plato

Image
  Filsafat pendidikan membawa guru dan murid untuk saling bertanya satu sama lain, untuk bertanya kepada diri mereka masing-masing, apa itu ilmu pengetahuan? Apa yang dipelajari? Apa yang diajarkan? Mengapa harus dipelajari dan diajarkan? Siapa sebenarnya guru? Siapa sebenarnya murid? Kelas itu apa dan di mana? Pertanyaan-pertanyaan filosofis berimplikasi kuat dalam menafsirkan apa yang dibutuhkan dan apa yang perlu dilakukan. Dalam sejarah filosofi barat, Alegory of the Cave , jilid ke VII yang ditulis oleh Plato dalam bukunya Republika merupakan peletak konsep dasar dan hakikat pendidikan. Jilid ini menggambarakan tentang keadaan masyarakat yang menolak sudut pandang berbeda atau realitas baru karena terjebak dalam pemikiran umum yang telah dipercaya oleh sebagian besar masyarakat tersebut. Hal ini didiskusikan melalui cerita tradisi lisan dalam tulisan. Oleh karena itu, Plato menggunakan alegori di mana makna disembunyikan dalam tokoh-tokoh, benda-benda dan peristiwa untuk mewakil